Ke-13 // Cerpen Horor - Termuat di Majalah Eksis edisi 2014 SMP Negeri 1 Baturetno

Ke-13
Galuh Dewandaru A. A.


Malam itu angin menerpa tubuhku dan langit tertutupi warna hitam kelam tanpa sedikitpun cahaya mungkin sedang mendung sehingga suasana terasa dingin, kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul 9 malam. Kantuk mulai menyerang menambah beban badan yang telah penat. Les bahasa Mandarin telah bubar, aku pulang mengayuh sepeda dengan  sangat pelan karena rasa kantuk dan penat tadi terlanjur menghinggapi tubuhku. Baru kali ini aku pulang sampai selarut ini, aku teringat jika besok ada ulangan bab 2, sedangkan aku sudah lupa-lupa ingat dengan materi bab 2. Argh! Kenapa di saat-saat penat seperti ini aku baru teringat, aku benar-benar heran! Harusnya jika aku tidak ingat maka nanti malam aku akan langsung leluasa tidur, namun karena ingat, aku harus belajar dulu baru kemudian tidur. Yap! Dengan terpaksa malam ini aku harus tidur terlambat!
Hari ini entah mengapa jalan pulang menuju rumahku sangat sepi dan tidak banyak lampu jalan yang dinyalakan. Semakin lama kumenyusuri jalan, semakin gelap dan sepi saja rasanya, maka semakin besar rasa was-wasku, dan semakin kencang kukayuh sepedaku. Saking kencangnya mengayuh sepeda, tanpa sadar aku menabrak sebuah pohon jati besar di pinggir jalan, akibatnya aku terpelanting dan sepedaku terpental entah kemana. Aduh! sungguh sangat sakit, sepertinya seluruh tubuhku remuk hancur berkeping-keping. Sejenak aku terdiam, tubuhku yang tadi terasa sakit kini terasa mati rasa, sekelebat pertanyaan pun muncul dalam benakku. Apakah aku mati?, aku mencoba menggerakkan telapak tanganku dan masih dapat kuraba kasarnya tanah tempatku tergeletak sekarang. Syukurlah, aku belum mati. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, sekuat tenaga perlahan-lahan aku bangkit dan berjalan tertatih mencari sepedaku yang terpental entah kemana.
Beberapa menit berlalu, aku belum juga menemukan sepedaku, tiba-tiba terdengar suara gerisik dedaunan pohon jati, sepertinya ada sesuatu yang melangkah diantara guguran daun pohon jati. Sialnya suara itu semakin mendekatiku, membuat semua bulu kudukku berdiri. Spontan aku berlari, walaupun sebenarnya tubuhku sudah terlalu lemah dan aku masih belum menemukan sepedaku, hatiku menuntunku untuk segera berlari! Tanpa banyak pikir aku terus berlari berusaha menjauhi tempat itu.
            Pada akhirnya aku hanya mampu berlari sebatas sisa tenaga yang kumiliki, kini tenagaku benar-benar sudah terkuras habis, penglihatanku berkunang-kunang dan tubuhku kini tergeletak lemah di tengah-tengah tempat yang sungguh gelap. Sungguh mengenaskan! Meskipun demikian aku masih tersadar, dalam hati ku memohon, Oh Tuhan! Apakah tidak ada satu orang pun yang mengetahui diriku sekarang? Apakah tidak ada satu orang pun yang dapat menolongku?
            Tiba-tiba ada sentuhan telapak tangan di tangan kiriku. Aku masih mampu menyadarinya namun tidak mampu melihat siapa yang menyentuh tangan kiriku, karena keadaan disini sungguh gelap. Telapak tangan yang menyentuhku terasa berat, besar, dan kasar. Menjijikkan! Jika saja aku masih punya tenaga, aku akan memukul telapak tangan yang menyentuhku itu.
            Tanpa kusadari, peluh ketakutan menetes dari tubuhku dan air mata ketakutan juga berlinang dari kedua bola mataku. Secara mengagetkan, telapak tangan menjijikkan itu mencengkeram erat tangan kiriku dan menyeretku dengan paksa lalu menyenderkan tubuhku pada suatu benda. Samar-samar pandanganku menangkap sebuah raut muka buruk rupa dilengkapi dua buah bola mata merah menyala dengan senyum menyeringai bertaring tajam, wajah menjijikkan itu mendekatiku dan menyeringai semakin lebar tepat di depan mataku!
            Ah! Gelap! Semua gelap! Setelah itu aku tidak mampu merasakan apapun, aku tidak mampu menyadari apapun, aku tidak mengingat apapun juga.
Tiba-tiba aku merasakan kehangatan, tiba-tiba aku merasa memeluk tubuh seseorang dari belakang, ternyata ia adalah Kak Ben. Dan kulihat, sekarang aku sedang dibonceng Kak Ben dengan motor Ninja-nya, seketika aku menangis karena merasa ini semua sangat mustahil, kakakku terkaget lalu mengatakan kalau aku tertidur sepanjang perjalanan pulang dari tempat lesku dan mungkin bermimpi buruk. Tetapi aku tetap tidak percaya, karena  aku benar-benar merasa jika kejadian tadi sungguh nyata, terbukti dengan tubuhku yang masih terasa remuk.
Setelah sampai di rumah, aku langsung memeriksa garasi, disana tidak ada sepedaku. Aku menanyakannya pada Kak Ben. Kata Kak Ben, sewaktu aku tidur ia membawa sepedaku ke bengkel untuk diganti ban, katanya ban sepedaku sudah terlalu halus. Aku tetap bingung dan tidak bisa menerima semua pernyataan Kak Ben. Aku terlalu lelah, tanpa memikirkan ulangan besok, aku memutuskan untuk langsung tidur. Apalagi sekarang jam dinding menunjukkan pukul 10 malam.
            Keesokan harinya aku mencoba untuk melupakan sejenak kejadian mengerikan semalam, dan mencoba mengalihkan perhatian dengan belajar, sampai saat ulangan tiba, beruntung aku dapat menjawab semua soal ulangan dengan mudah. Sepulang sekolah, aku mulai mengingat kejadian semalam lagi, aku pun menceritakannya pada sahabatku dan sahabatku mengatakan jika itu tidak mungkin terjadi. Jawaban itu tidak memberikan aku kepuasan, justru membuatku semakin jengkel. Seolah-olah semua orang menganggap jika kejadian semalam hanyalah hasil imajinasi dan khayalan semata, dan akulah si pembuat imajinasi dan khayalan itu.
Sepanjang perjalanan, aku hanya diam, kepalaku dipenuhi pikiran tentang kejadian tadi malam. Ah! Ini semua membuat kepalaku semakin mendidih saja!
Sampai di rumah,
Brakkk!
Aku membanting pintu rumah sekencang-kencangnya, aku sungguh emosi. Ingin kulampiaskan emosiku dengan membanting pintu rumah.
Ceprot!
Tiba-tiba ada sesuatu yang mengenai wajahku, dengan sangat emosi segera kumengelap wajahku dengan kedua tanganku. Lalu kulihat Kak Ben sudah berada didepanku dan menertawaiku terbahak-bahak.
“HAHAHA!! Muka kamu lucu banget!”   
“GAK LUCU!!”, aku membentaknya dengan keras.
“Wah, wah oke! Kak Ben minta maaf nih, sebagai permintaan maaf maka ...,”
“Happy birthday Hime!” kata Kak Ben sambil menyodorkan sebuah kue dengan lilin berangka 13. Tiba-tiba banyak orang mengelilingiku sambil membawa balon dan meniupkan terompet. Mereka semua menyanyikan lagu Tiup Lilinnya dengan senyum cerah dan tepuk tangan untukku.
Aku teringat hari ini adalah hari ulang tahunku ketiga belas tahun, dan yang membuatku belepotan seperti sekarang, adalah krim yang sengaja dilemparkan Kak Ben ke wajahku. Aku menangis terharu sambil menyeka krim di wajahku.
“Hime, kalau jadi orang jangan pikun dong, coba liat tanggalan, sekarang kan hari spesial kamu, Hime sayang!”, omel Kak Ben sambil memperlihatkan padaku sebuah tanggalan.
Astaga! Seketika mataku terkesiap! terpampang jelas di tanggalan itu jika tadi malam, adalah...

MALAM JUM’AT KLIWON, dan itu tepat saat ULANG TAHUN KE-13ku.

Komentar

Postingan Populer