Review Komparasi Jurnal Nasional dan Internasional Hukum Bisnis White Collar Crime - Uas Hukbis Unej


TUGAS AKHIR HUKUM BISNIS
Review Komparasi Jurnal Nasional dan Internasional
Hukum Bisnis White Collar Crime




Disusun Oleh :
Galuh Dewandaru Al Amanah
190810201154



JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
2019


Jurnal Kasus Hukum Bisnis Nasional

Judul jurnal : EKSISTENSI ‘WHITE COLLAR CRIME’ DI INDONESIA: KAJIAN KRIMINOLOGI MENEMUKAN UPAYA PREVENTIF
Objek bisnis : Berbagai perusahaan di Indonesia, salah satunya PT. Lapindo Brantas
Ringkasan jurnal : Tulisan ini membahas tentang kejahatan kerah putih (WCC) yang sampai saat ini terus ada karena faktor budaya, pembelajaran dan unsur dari manusia itu sendiri yaitu potensi untuk melakukan kesalahan dan sifat keserakahan. Kejahatan kerah putih terlalu halus bagi masyarakat awam untuk menyadarinya. WCC termasuk jenis kejahatan luar biasa di Indonesia yang juga memerlukan upaya yang luar biasa yang dapat dilakukan dengan upaya holistik dengan bergeraknya seluruh elemen sistem hukum mulai dari pemerintah, aparat dan juga masyarakat.
Fenomena kejahatan sering dianggap sebagai fenomena sosial. Banyak paradigma hadir menjelaskan tentang keberadaan kejahatan. ‘White Collar Crime’ (WCC) merupakan salah satu tipologi kejahatan. Ciri khas kejahatan tipe ini adalah penggunaan jabatan. Konsep klasik dari ‘White Collar Crime’ selalu tertuju pada pemerintahan. Pemerintahan pada era Klasik menuju Modern sering diwarnai dengan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepostisme (KKN) hingga menimbulkan peringkat pertama dalam ‘White Collar Crime’. Kejahatan yang dianggap sebagai fenomena sosial pasti mengikuti perkembangan sosial. Perkembangan kejahatan WCC sudah pasti mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam interaksi manusia. Paradigma modern ‘White Collar Crime’ sudah bukan lagi tertuju pada pemerintahan, namun juga pada sektor swasta dalam bentuk badan hukum (korporasi). Adanya simbiosis mutualisme kejahatan antara sektor pemerintah dan swasta menjadi perkembangan baru dalam dunia hukum. Seolah hukum yang tertinggal dalam perkembangan kejahatan.
Hukum sering dianggap sebagai produk politik atau kebijakan (Friedman, 2007:117). Paradigma positivisme ini menjadi salah satu alasan kenapa hukum dan penegakannya tertinggal. Padahal ‘White Collar Crime’ yang dalam wujud eksistensinya adalah korupsi yang juga termasuk kejahatan luar-biasa dalam hukum positif indonesia. Kejahatan luar biasa dalam hal penanganannya memerlukan sifat yang luar-biasa juga. Kejahatan teroris dan narkotika yang merupakan kejahatan luar-biasa di Indonesia mampu ditegakkan sampai hukuman mati, sementara korupsi tidak. Eksistensi ‘White Collar Crime’ yang lain adalah kejahatan korporasi. Kejahatan jenis ini sangat jarang berlanjut ke meja hijau ranah pidana. Keadaan yang seperti ini menjadi permasalahan baru di dunia hukum. Hukum di Indonesia seringkali dilabelkan sebagai simbol kekakuan yang hanya berpacu pada teks peraturan perundang-undangan. Selain itu, Model Pemidanaan yang bersifat punitif mulai banyak dikritik. Sudah saatnya kekakuan dari sifat hukum ini berguna dalam menangani ‘White Collar Crime’. Tujuan hukum yang meliputi keadilan dan kepastian menjadi mutlak dalam penegakan ‘White Collar Crime’. Pencegahan (preventif) merupakan jalan terbaik mengatasi kejahatan ini, sebab upaya represif yang telah dilakukan sangat sulit diterapkan pasca terjadinya kejahatan terutama terkait dengan korporasi. Pada tulisan ini akan dideskripsikan bagaimana ‘White Collar Crime’ sebagai kejahatan menjadi terus ada dan berkembang. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan alasan ‘White Collar Crime’ di Indonesia menjadi hal yang rumit untuk ditegakkan. Melalui latar belakang ini perlu dianalisis tentang eksistensi ‘White Collar Crime’ dan upaya pencegahannya.
Penyelesaian sengketa bisnis :
1. Kerja sama menyeluruh dari semua sub-sistem hukum, yaitu: masyarakat, pemerintah
dan penegak hukum;
2. Meningkatkan kesadaran dari pribadi manusia itu sendiri, baik melalui etika dan
agama; dan
3. Memberikan kewenangan khusus pada Lembaga Penegakan Korupsi, sebagai lembaga
khusus di Indonesia.








Jurnal Kasus Hukum Bisnis Internasional

Judul jurnal : White-collar crime: a statistical study on its common causes
Objek bisnis : Beberapa industri di Malaysia
Ringkasan jurnal : Kejahatan kerah putih selalu berhasil menemukan cara untuk merusak nilai-nilai dan etika yang dimiliki orang dalam suatu masyarakat. Sebuah studi statistik dilakukan untuk mengidentifikasi beberapa penyebab umum kejahatan kerah putih di Malaysia. Untuk mencapai hal ini, kuesioner survei dibagikan kepada investor potensial dan yang ada untuk menilai pandangan mereka mengenai masalah ini. Studi ini menemukan bahwa, salah satu penyebab utama kejahatan kerah putih di Malaysia adalah karena fakta bahwa ada kepercayaan bahwa pesaing membayar suap untuk memenangkan kontrak, dan karenanya yang lain mengikuti. Di sisi lain, sebagian besar pelaku melakukan kejahatan kerah putih karena ada banyak saat yang tepat bagi mereka untuk melakukannya. Oleh karena itu, perusahaan harus menyesuaikan diri dengan struktur tata kelola yang baik dan kontrol internal agar tidak memberi peluang kepada pelaku potensial dan yang ada untuk terlibat dalam kesalahan apa pun.
Kejahatan kerah putih dapat terjadi atau ada dalam berbagai bentuk. Gottschalk (2010) mengategorikannya menjadi empat bentuk utama, yaitu: korupsi, penipuan, pencurian, dan manipulasi. Dapat diperdebatkan, definisi yang tepat untuk kejahatan kerah putih mungkin dirumuskan oleh Edelhertz (1970). Menurut Edelhertz (1970, p. 3), kejahatan didefinisikan sebagai “tindakan ilegal atau serangkaian tindakan ilegal yang dilakukan dengan cara non-fisik dan dengan menyembunyikan atau menipu, untuk mendapatkan uang atau properti, untuk menghindari pembayaran atau kehilangan uang. atau properti, atau untuk memperoleh keuntungan bisnis atau pribadi ”.
Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh PricewaterhouseCoopers pada 2009, ditemukan bahwa jenis kejahatan kerah putih yang paling umum dilakukan di seluruh dunia adalah penyelewengan aset, penipuan akuntansi, serta penyuapan dan korupsi (PricewaterhouseCoopers, 2009). Di Malaysia, survei yang diprakarsai oleh KPMG menunjukkan bahwa pencurian uang tunai, pencurian inventaris, klaim biaya penipuan, dan kickback adalah jenis penipuan korporasi yang paling umum dilakukan (KPMG, 2009). KPMG (2009) juga melaporkan bahwa “49 persen dari semua responden mengalami setidaknya satu penipuan selama periode survei” dari 2006 hingga 2008.
Menurut statistik yang dihimpun oleh Departemen Investigasi Kejahatan Komersial (CCID), jumlah kejahatan kerah putih kasus yang diselidiki oleh polisi pada tahun 2003 adalah 11.714 kasus dan melibatkan sekitar RM579 juta, dan pada tahun 2004 jumlah kasus menurun menjadi 9.899 tetapi jumlah kerugian meningkat menjadi sekitar RM836 juta (Lim, 2005). Untuk tahun 2008, jumlah kerugian mencatat sedikit peningkatan sekitar RM846 juta, tetapi jumlah kasus naik secara signifikan menjadi 17.311 ("Kejahatan Kerah Putih," 2009). Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Global Financial Integrity (GFI) (2011), aliran keuangan ilegal untuk tahun 2000-2008 dari Malaysia adalah US $ 291 miliar (GFI, 2011).
Terbukti, statistik dan laporan survei menunjukkan bahwa tindakan kejahatan kerah putih di Malaysia merajalela. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris lebih lanjut mengenai masalah yang bersangkutan sehingga tindakan yang tepat dapat diambil untuk meminimalkan perilaku ilegal oleh individu yang tidak bertanggung jawab. Dengan membangun kesadaran dan pengetahuan seperti itu, para pemangku kepentingan yang relevan dari organisasi dapat membuat keputusan berdasarkan informasi untuk mengurangi jumlah terjadinya kejahatan kerah putih dan pada kenyataannya ini dapat dilihat sebagai awal dari iklim baru untuk memerangi kejahatan kerah putih secara proaktif di Malaysia. Sisa dari jurnal ini akan membahas beberapa teori di balik terjadinya kejahatan kerah putih dan ini diikuti dengan menggambarkan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini. Kami kemudian menyajikan temuan dan diskusi empiris. Akhirnya, kesimpulan dan penelitian di masa depan akan diberikan di bagian terakhir dari jurnal ini.
Penyelesaian sengkete bisnis :
1.    Perusahaan secara serius berinvestasi dalam menempatkan sistem tata kelola yang baik dan kontrol internal agar tidak memberi peluang kepada pelaku potensial dan yang ada untuk terlibat dalam kesalahan apa pun.
2.    Pemerintahan ditinjau dan diperbaiki secara berkelanjutan sehingga risiko kejahatan kerah putih dapat diminimalisir.
3.    Studi lebih lanjut mempertimbangkan peran regulator dalam mendidik direktur perusahaan dan manajemen puncak tentang pentingnya mempromosikan etika bisnis dan tata kelola yang baik untuk kinerja perusahaan yang lebih baik.
4.    Lebih banyak penekanan ditempatkan dalam mengurangi peluang dan tekanan situasional, terutama dalam kaitannya dengan penyebab organisasi dan manajerial, untuk memerangi kejahatan kerah putih di Malaysia.
5.    Jenis industri yang berada di bawah penyebab oportunistik lebih diperhatikan mengingat perkembangan terakhir di Malaysia.
6.    Praktik perekrutan yang baik dapat sampai batas tertentu, membantu mencegah penipuan.





















Komparasi

Perbedaan dan Kesamaan Penyelesaian sengketa bisnis nasional dan internasional :
Faktor-faktor penyebab kejahatan kerah putih di Indonesia, antara lain: (1) Faktor sejarah: sejarah dari masa Kolonial Belanda yang ditularkan kepada masyarakat; (2) Faktor budaya: salah satu budaya masyarakat yang disalahgunakan dan menjadi suatu kebiasaan; serta (3) Faktor potensi (sifat) manusia: masing-masing manusia memiliki potensi untuk melakukan kejahatan, terutama jika muncul sifat keserakahan.
Penyebab kejahatan kerah putih di Malaysia, antara lain : (1) Ada kepercayaan bahwa pesaing membayar suap untuk memenangkan kontrak. (2) Kontrol internal yang buruk. (3) Keinginan untuk mendapatkan bonus kinerja pribadi. (4) Praktik etika yang buruk. (5) Kurangnya kendali atas manajemen oleh direksi. (6) Bagi eksekutif senior untuk mencapai hasil keuangan yang diinginkan. (7) Manajemen mengabaikan kontrol internal. (8) Pertahankan kinerja keuangan untuk memastikan pemberi pinjaman tidak membatalkan fasilitas hutang. (9) Jenis industri. (10) Keuangan target lebih sulit untuk dicapai. (11) Budaya perusahaan (12) Kolusi antara karyawan dan pihak ketiga (13) Takut kehilangan pekerjaan (14) Praktik perekrutan yang buruk (15) Pengaruh rekan kerja (16) Bonus tidak dibayarkan tahun ini.
Pada dasarnya penyelesaian sengketa bisnis white collar crime di Indonesia dengan Malaysia hampir sama. Pada intinya penyelesaian yang dilakukan oleh kedua negara tersebut lebih diutamakan pada kerja sama menyeluruh dari semua sub-sistem hukum, meningkatkan kesadaran dari pribadi manusia itu sendiri, dan pemberian wewenang secara khusus terhadap lembaga yang berwenang atau atasan perusahaan yang bertanggungjawab. Bedanya, Malaysia menyelesaikan sengketa bisnis white collar crime dengan lebih detail dan terstruktur. Seperti, memfokuskan pada penempatan sistem tata kelola yang baik dan kontrol internal, mengutamakan peran regulator dalam mendidik direktur perusahaan dan manajemen puncak tentang pentingnya mempromosikan etika bisnis dan tata kelola yang baik, sampai pelaksanaan praktik perekrutan yang baik.
Kesimpulan :
Negara Malaysia maupun Negara Indonesia sudah terbilang lebih siap siaga dan tegas dalam menangani sengketa bisnis white collar crime, sehingga angka kejahatan kerah putih sudah berhasil ditekan dan alhasil meminimalisir kerugian. Itu semua dapat dilihat dari berbagai penelitian yang telah dilakukan serta berbagai upaya preventif dan represif yang telah dilaksanakan. Akan tetapi pada kenyataannya bentuk kejahatan bisnis ini masih saja ada di kedua negara tersebut karena masih ada beberapa warga negara yang egois mengedepankan keuntungan pribadi, dan beberapa faktor lain.







Komentar

Postingan Populer