Zarah si Gadis Penguasa 1001 Bahasa // Juara 3 Lomba Menulis Cerpen - Pemantapan Literasi SMA Negeri 1 Sukoharjo 2018
Tema Cerpen : Bahasa sebagai seni dan solusi mengatasi persoalan dalam kehidupan sehari-hari
Zarah si Gadis
Penguasa 1001 Bahasa
Oleh : Galuh Dewandaru Al Amanah
Pagi ini terlihat sangat cerah, padahal semalam hujan
deras mengguyur bumi pertiwi. Bahkan halilintar pun menari-nari menampilkan
atraksinya ditemani dengan suara gemuruh yang menggelegar bagai badai.
Sampai-sampai tak bisa kulepaskan kedua tanganku menutup kencang kedua
telingaku. Aku kira semalam adalah malam terakhirku di muka bumi, untungnya
Tuhan masih berbaik hati memberiku umur panjang. “Mbak Zarah, tumben
bersemangat sekali hari ini!?” Seru seseorang menggugah lamunanku. “Eh, Budhe
Kusnia! Hehe, emang iya? Ya namanya anak sekolah ya kudu semangat lah Budhe.”
Jawabku pada tetanggaku itu. “Hilih, mbak Zarah-“ Ucap Budhe Kusnia sambil
menggerakkan kedua jarinnya membentuk sebuah kode yang sama sekali tidak aku
mengerti. Heh? Apa coba maksudnya? Ah, sudahlah bodo amat! Gumamku dalam hati.
Aku meneruskan berjalan kaki menuju SMP-ku yang tak jauh dari rumah.
Teet
Teet Teet
Bel sekolah
berbunyi. Aku pun berlari terbirit-birit menuju kelasku. BRAKKK! Tidak sengaja
aku menabrak seorang siswi yang tak ku kenal, dan sepertinya aku belum pernah
melihatnya sebelumnya. “Ma maaf banget, ka kamu nggak papa?” Tanyaku
terbata-bata. Tapi anak perempuan itu bukannya menjawab malah diam seribu bahasa
dengan muka masam dan tatapan aneh, lalu ia meninggalkanku sendirian di koridor
sekolah yang mulai sepi. Aku pun bergegas menuju kelas sebelum terlambat. Duh, pelajaran
pertama kimia lagi! Matilah aku!
Yang
benar saja, Pak Danu sudah berdiri di dalam kelas. Belum sempat mendelik beliau
sudah duluan melihatku dengan tatapan suram. ”Zarah kemarilah!” Seru Pak Danu
dengan suara khas nya yang membuat semua makhluk yang mendengarnya merinding.
Rasanya ingin pulang saja aku daripada dimarahi guru paling killer di sekolah. Habislah riwayatmu Zarah! Mau tidak mau aku
pun memberanikan diri melangkah menuju Pak Danu. “Maaf pak, saya telat. Saya menerima
hukuman apa saja dari bapak…” Ucapku pasrah. Pak Danu mengangkat alisnya,
sepertinya beliau tertegun mendengarkan ucapanku barusan. “Oke, nanti sepulang
sekolah temui saya di kantor untuk menerima hukumannya!” Perintahnya. “Dan
jangan harap kamu saya maafkan lagi untuk kedua kalinya!” Bentaknya yang
berhasil membuat bulu kudukku berdiri.
Sepulang
sekolah sesuai perintah Pak Danu aku menemuinya di kantor guru seorang diri.
Rasa takut terus menghantui. Jantungku terus berdetak kencang tak tau apa yang
akan terjadi dengan nasibku yang malang ini. Apa boleh buat, aku hanya bisa
pasrah sekarang. “Assalamualaikum, Pak Danu.” Ucapku membuka pembicaraan.
“Duduklah!” Kata Pak Danu sambil menyodorkanku sebuah buku yang tebal. Tertulis
“KIMIA MURNI” di sampul buku itu. “Saya dengar kamu sangat menonjol di Bahasa
Inggris, jadi hukuman kamu adalah menerjemahkan semua isi buku itu ke Bahasa
Inggris. Buku karya saya ini akan disebarluaskan ke mancanegara, jadi harus diterjemahkan ke
bahasa dunia biar orang di belahan dunia manapun bisa baca dan paham dengan
tulisan saya. Saya kasih kamu waktu dua minggu!” Aku menelan ludah tidak
percaya. Gila! Ingin melawan tapi tak bisa, oh Tuhan tolonglah hambamu yang
satu ini… Tangisku dalam hati. “Ya bagaimana bisa kalo belum dicoba saja udah
bilang ga mampu!” Sindir Pak Danu yang tepat melesat di dalam benakku. “Tidak
usah ngomong saja saya sudah tau, jangan kira saya ga mampu baca bahasa non
verbal. Saya ahli psikologi. Semuanya dikatakan oleh raut mukamu Zar.”
Tambahnya. “Saya ga keberatan kok pak!” Emosiku mulai memuncak. Tapi begitu
bodohnya diriku bukannya menawar malah menyanggupi. Dasar Zarah manusia sok
kuat!
Sesampai
di rumah bukannya pergi mandi, seperti biasa aku malah mendahulukan nafsuku.
Merebahkan badanku yang bau kecut ini di atas pulau kasur dan bermalas-malasan.
“Ah, sumpeh gila itu guru! Bilang aja ga bisa Bahasa Inggris, pake sok-sokan
gengsi di depan muridnya! Sialan!” Marahku meluap sudah. Rasa benci seorang
murid pada gurunya mulai tumbuh dari hati kecil ini. Dengan sangat terpaksa, ku
mulai menyicil lembar demi lembar menerjemahkan buku Kimia Murni itu. Bagaimana
tidak? ”Kalau tidak begini tidak akan mungkin aku bisa menyelesaikan hukuman ini
hanya dengan waktu dua minggu! Padahal aku super sibuk! Sibuk organisasi
sekolah, kerja kelompok, karangtaruna, TPA, bantu orangtua, dan segudang PR
dari ibu bapak guru. Apalagi sekarang fullday,
tiap hari berangkat pagi pulang petang, rasanya aku ga pernah lihat matahari.
Sampai rumah masih banyak pekerjaan yang harus diurus, begini terus setiap
hari. Begitu penat dan membosankan dunia ini! Hei, aku ini manusia bukan robot
yang tak punya perasaan!” Omelku yang tanpa kusadari didengar mama sedari tadi.
“Kenapa sih Zar?” Tanya mama mendekatiku sambil menyodorkan segelas kopi cappuccino
kesukaanku. Aku menggelengkan kepala. Tapi sialnya tiba-tiba air mataku
bercucuran. Lalu mama pun memelukku, “Zarah, dunia itu memang keras. Makanya
kamu juga harus berlaku lebih keras biar berhasil. Kalau kamu sedang sulit,
mama selalu ada buat kamu. I love you my
darling, be strong and keep fighting!” Ucapan mama yang powerfull menguatkanku. Aku tau mama
sangat menyayangiku, tapi ini adalah kali pertama mama berterus terang
denganku. “Thankyou Ma, I love you too,”
aku mendekupnya lebih kencang. Malam itu terasa sangat panjang, aku
menceritakan semuanya pada mama, berkeluh kesah pada mama sampai akhirnya aku
mendapat solusi yang pas.
Keesokan
harinya ketika jam istirahat sekolah berlangsung, aku melihat sosok orang yang
pernah kujumpai sebelumnya. Yup, anak perempuan yang tak sengaja aku tabrak
tiga hari yang lalu. Ia menari dengan sangat luwes dan anggun di depan kaca
besar di ruang kesenian. Aku kagum melihatnya, aku pikir ia sangat suka menari.
“Zarah lihat deh anak yang nari itu,
Aisah namanya. Ia kemarin habis menang lomba tari tradisional, dan sekarang ia
akan lomba tari ballet tingkat internasional! Keren bukan?” Bisik salah seorang
sahabatku.
“Wah, benarkah?” Aku menganga.
“Dia sejak kecil ikutan sanggar tari
sih, dan sekarang dia yang ngajar di sanggar tarinya itu malah. Katanya alasan
mengapa ia sangat mencintai tarian adalah karena dengan menari ia bisa
mencurahkan perasaanya yang tak bisa ia curahkan dengan kata-kata maupun lisan,
tapi ia bisa lewat gerakan-”
“Bahasa tubuh maksudnya,” sahut
sahabatku yang lain.
Oalah begitu, berarti Aisah berbeda
denganku yang lebih senang meluapkan perasaan lewat tulisan. Ya, aku punya
banyak buku diary di rumah. Hampir
tiap hari aku aku mengisinya. Tak tau mengapa merasa lebih lega saja bila aku
tulis perasaanku, mungkin karena kepribadianku yang introvert. Berbeda juga dengan sahabatku Alin yang lebih suka
curhat secara lisan. Alin memang tipe orang cerewet dan extrovert. Maka dari itu, ia lebih suka membicarakan perasaanya
secara langsung.
Semenjak hari itu aku sering
berpapasan dengan Aisah. Aku selalu memberinya senyuman manis tiap kali kami
bertemu. Untungnya ia pun selalu membalas senyumanku. Sampai pada akhirnya
hatiku tergugah untuk memberinya selembar kertas berwarna biru bertuliskan
maaf. Aku masih merasa tidak enak karena kejadian pertama kali kami bertemu.
Ketika membacanya Aisah mengerutkan keningnya, namun beberapa detik kemudian ia
menatap kedua bola mataku dan tersenyum. Ia mengangguk dan menjulurkan tangan
kanannya mengajakku bersalaman. Aku pun menyalaminya. Aku tersadar meski Aisah tak banyak bicara tetapi ia sebenarnya agresif.
Ia lebih suka menggunakan bahasa tubuh dibandingkan bahasa sehari-hari.
Sorenya, aku kembali berkutat pada
si buku “KIMIA MURNI”. Sudah hampir selesai tugasku yang satu ini. Aku
bersyukur sekali punya banyak sahabat dan mama yang ringan tangan membantuku
menyelesaikan hukuman ini.
“Eh mbak Zarah kok akhir-akhir ini
mantengin laptop terus lagi ngerjain apa sih mbak?” Sapa Budhe Kusnia yang
entah datang dari mana.
“Biasa, apa lagi budhe…” Jawabku
ketus.
“Mbak Zarah-“ Budhe Kusnia
menggerakkan kedua tangannya lagi menunjukkan beberapa kode yang lagi-lagi sama
sekali tak bisa aku pahami.
“Apaan sih budhe, sekarang tiap hari
suka kek gitu? Zarah gagal paham tauk!”
“Yeeee, ini namanya body language atuh mbak. Budhe kan baru
aja belajar bahasa isyarat biar bisa komunikasi sama keponakan yang tuna
rungu…” Jelas Budhe Kusnia.
“Wuii keren dong, jangan-jangan
Budhe juga bisa baca tulis huruf braille?”
Ocehku.
“Iya ini baru proses, doain ya mbak.
O iya, bahasa isyarat yang tadi buat mbak Zarah artinya ‘Semangat!’” Budhe
Kusnia menyemangatiku. Aku pun mengacungkan jempol.
Sampai hari terakhir tiba, Pak Danu
tak segan-segan memanggilku lewat mikrofon sekolah sehingga seisi sekolah tahu.
“Nah loh Zar, syukurin! Bukannya kamu belom selesai ya? Habislah riwayatmuu,
hahaha!” Ledek Niko menyiutkan mentalku. Buset dah bapak ini bikin aku mau mati
aja!
Di kantor, “Gimana Zar? Mana
terjemahannya?” Tanya Pak Danu menyambarku. Aku tak berani menjawab, kepalaku
terus menunduk tak berani kuangkat apalagi menatap mata beliau. Tanganku
gemetaran, badanku dingin bagai es di kutub. Pak Danu merebut cetakan
kertas-kertas dari tanganku. Tanganku sempat menolaknya sampai kertas sampul
bertuliskan “PURE CHEMISTRY” ini robek sedikit, akhirnya aku pun mengalah. Pak
Danu membuka lembar demi lembar hasil terjemahanku sampai akhir. “Ada pepatah
yang bilang ‘Janji merupakan sebuah hutang yang harus dibayar’, jadi bagaimana
ini menurutmu konklusinya? Hah?!” Pak Danu mendobrak mejanya tepat di depanku.
Tentu saja aku kaget bukan main. Keringatku mulai bercucuran seperti sedang
mandi. “Apa ini bentuk hormat seorang murid terhadap gurunya? Kamu tau Ali bin
Abi Talib yang selalu mengabulkan permintaan gurunya walau gurunya hanya
mengajarkan satu huruf hijaiyah saja?! Karena kamu begini, saya sebagai seorang
gurumu berhak memperlakukanmu sebagaimana gurunya Muhammad al Fatih, karena
saya pun sama ingin mendidik kamu agar menjadi generus bangsa ini yang pantas
dibanggakan seperti Muhammad al Fatih sang penakluk Konstantinopel…” Sorotan
tajam Pak Danu yang berwawasan luas meremukkan mentalku. Alih-alih tambah
tangguh, aku malah menangis. Dasar manusia lemah! Mental kerupuk!
Dua jam berlalu, aku membuka kedua
kelopak mataku. Aku terbangun dalam keadaan terbaring lemah di atas ranjang
UKS. Aku baru ingat diriku habis pingsan setelah dimarahi habis-habisan oleh
Pak Danu. Anehnya ada yang mengirimiku sebuah lukisan. Sayangnya penglihatanku
remang-remang, maklum mataku bengkak.
Di tengah perjalanan pulang ada seorang
kakek menghampiriku. Ternyata beliau tertarik dengan kertas lukisan yang aku
pegang.
“Hei nak apakah lukisan ini
pemberian dari gurumu?” Tanya kakek itu abstrak.
“Emm saya belom tau kek, memangnya
apa yang salah sama lukisannya kek?” Tanyaku balik.
“Kau tau apa arti lukisan ini?” Aku menggeleng
frustasi.
“Gurumu yang melukis ini adalah
seseorang yang sangat mencintai seni, terutama melukis. Dia hanya bisa
menunjukkan pemikirannya yang sebenarnya melalui sebuah karya lukisan. Sama
seperti saya, makanya saya tau apa makna lukisan ini. Intinya lukisan ini
menunjukkan bahwa kamu sudah berhasil menjadi seorang murid yang baik, gurumu
hanya mengetesmu. Dan alhasil kamu adalah siswi yang baik, sehingga gurumu
memaafkanmu plus gurumu juga minta maaf padamu atas perlakuaannya yang bisa
dibilang kejam,” jelas kakek tua itu.
…………..
Yah, begitulah singkat ceritaku di akhir tahun SMP. Terlalu banyak yang bisa
dikenang, dan terlalu manis tuk dilupakan. Hikmah tahun ini adalah bahwa bahasa
dalam bentuk apa pun merupakan seni dan solusi mengatasi persoalan dalam
kehidupan sehari-hari. Aku bersyukur pada Tuhan yang sudah melimpahkan rahmat
dan nikmat berupa bahasa, aku enggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi
dengan dunia ini tanpa adanya bahasa. Itulah mengapa aku sangat semangat mempelajari
bahasa dunia, karena dengan menguasai bahasa dunia sama saja aku menguasai
semua bahasa, sebanyak 1001 bahasa sekalipun.
Sejatinya, bahasa ialah media komunikasi sehari-hari dan merupakan salah satu unsur terpenting di muka bumi.
(Zarah, 2018)
Komentar
Posting Komentar